Pagi nampak masih enggan menyapa dan malu-malu menggantikan gelapnya malam. Perlahan sayup terdengar kicau burung gereja bersahutan nampak kegirangan menyambut sang fajar yang datang perlahan di ufuk timur. Kesunyian perlahan memudar berganti riuh aktifitas kehidupan yang ada di sekitar Rumah Khusus Sakit Paru Karawang.
Disudut sebelah timur terlihat beberapa perawat bertegur sapa diselingi obrolan ringan atau sekedar bercanda saja. Nampak tidak terlihat wajah-wajah suram dan atau bahkan lelah di raut wajah mereka yang sudah hampir sebulan ini di disibukan dengan melonjaknya pasien Covid19 yang mengakibatkan mereka harus berjibaku bekerja keras antara menolong pasien dan protokol kesehatan yang luar biasa ketat untuk melindungi nyawa mereka sendiri dari paparan virus ini.
Pagi ini aku terbangun sendirian di kursi ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah sakit. Boo panggil saja nama gadis ini seperti itu. Nama yang kuambil dari bahasa Perancis yang artinya "yang terkasih" Boo gadis yang menemaniku semalam di sampingku sudah tak terlihat, mungkin dia sudah terbangun pagi tadi atau mungkin pula pergi melihat pasien yaitu ayahnya ketika malam saat aku tertidur?. Entahlah.
Aku berjalan menyusuri selasar rumah sakit sambil mencoba sesekali menggerakkan otot-otot badanku yang kesakitan karena semalam tidur duduk di bangku Plastik yang keras sambil tentu saja menikmati hangatnya matahari pagi yang konon katanya baik untuk kesehatan. Sama seperti halnya waktu aku kecil setiap pagi disuruh berjemur oleh ibuku setiap pagi yang tentu saja waktu itu yang selalu tak kuturuti.
Hangat sinar matahari pagi, langit yang cerah, semilir udara pagi dan kicau burung gereja berpadu-padan seperti simponi alam yang hanya mampu diciptakan oleh sebuah kekuatan sang maha besar yang kita sebut sebagai Tuhan.
Nampak dia tersenyum. Boo berdiri didekat pintu masuk IGD, senyum yang sama yang selalu membuat hidupku menjadi ada. Paras wajahnya, wajah yang setiap lekukannya mengingatkanku kepada kenangan yang termanis dan terindah dalam hidupku, bahkan kesedihanku yang tanpa akhir, rasa kehilanganku yang tidak bisa diganti, bisa kubaca di lekuk wajahnya yang manis. Aku menghampirinya, aku menyapanya. Kami berdua duduk di sudut rumah sakit melewati pagi sambil sesekali menceritakan hal-hal remeh-temeh.
Pagi menjelang siang terlihat beberapa pasien baru keluar masuk ruang IGD, kami yang sedari pagi duduk berdua disibukan dengan melihat adegan-adegan yang kami berdua sebut sebagai "Drama" yang diperankan oleh keluarga pasien dengan pihak rumah sakit. Banyak pasien yang datang ke rumah sakit kala itu yang ditolak dikarenakan tidak lagi terdapat bed (ranjang) sehingga pihak rumah sakit-pun dilema antara tugas mereka sebagai tenaga kesehatan yang dituntut menyelamatkan pasien dan ketiadaan ranjang untuk merawat pasien-pasien yang kian hari kian banyak yang berdatangan yang membuat tenaga medis tidak berdaya.
Salah satu keluarga pasien duduk di dekat kami, dengan wajah lelah serta tersirat kesedihan dimatanya. Kemudian salah satu dari keluarga pasien tersebut mengajak kami mengobrol walau hanya sekedar basa-basi atau kadang juga berkeluh kesah terkait tidak menentunya kondisi pasca wabah covid-19 ini memporak-porandakan kehidupan masyarakat. "Neng beruntung ya bisa ditemani suami neng ditengah kondisi keluarga sedang terkena covid" celetuk seorang keluarga pasien kepada kepada Boo. Deg.. perasaanku campur aduk. Antara senang dan takut. Senang karena kami dianggap suami istri dan juga takut disaat bersamaan atas kemungkinan jawaban Boo. Yang kemudian dijawab Boo dengan "Bukan bu, hanya teman!" jawab singkat Boo. Aku terpaku, detik itu juga waktu seakan berhenti, hening sesaat. Nyeuseuk. Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Boo hanya menganggapku sebatas teman. iya teman. Setelah itu kami terdiam cukup lama dengan menahan sesak aku mencoba mencairkan suasana dengan mengalihkan topik pembicaraan. Walau tentu saja sulit. Sekira tengah hari dengan suasana hati yang masih nyeusek aku pulang dari rumah sakit kembali kerumah. Ketika sesampainya di rumah Boo DM ke instagram ku "Jika jodohnya menjadi "teman" hidup". tiba-tiba saja bagai musafir kehausan di padang pasir yang menemukan oase, perasaan nyeusek yang tadi sempat kurasakan perlahan tumbuh menjadi secercah harapan. Iya harapan.
Salah satu keluarga pasien duduk di dekat kami, dengan wajah lelah serta tersirat kesedihan dimatanya. Kemudian salah satu dari keluarga pasien tersebut mengajak kami mengobrol walau hanya sekedar basa-basi atau kadang juga berkeluh kesah terkait tidak menentunya kondisi pasca wabah covid-19 ini memporak-porandakan kehidupan masyarakat. "Neng beruntung ya bisa ditemani suami neng ditengah kondisi keluarga sedang terkena covid" celetuk seorang keluarga pasien kepada kepada Boo. Deg.. perasaanku campur aduk. Antara senang dan takut. Senang karena kami dianggap suami istri dan juga takut disaat bersamaan atas kemungkinan jawaban Boo. Yang kemudian dijawab Boo dengan "Bukan bu, hanya teman!" jawab singkat Boo. Aku terpaku, detik itu juga waktu seakan berhenti, hening sesaat. Nyeuseuk. Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Boo hanya menganggapku sebatas teman. iya teman. Setelah itu kami terdiam cukup lama dengan menahan sesak aku mencoba mencairkan suasana dengan mengalihkan topik pembicaraan. Walau tentu saja sulit. Sekira tengah hari dengan suasana hati yang masih nyeusek aku pulang dari rumah sakit kembali kerumah. Ketika sesampainya di rumah Boo DM ke instagram ku "Jika jodohnya menjadi "teman" hidup". tiba-tiba saja bagai musafir kehausan di padang pasir yang menemukan oase, perasaan nyeusek yang tadi sempat kurasakan perlahan tumbuh menjadi secercah harapan. Iya harapan.
Pagi itu, hari itu ternyata adalah hari terakhir Boo bersamaku di IGD. Sebelum akhirnya Boo di isolasi bersama ayahnya dan dipindahkan ke ruang rawat inap di lantai 4 rumah sakit dan sudah tidak diperbolehkan lagi keluar masuk seperti sewaktu di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Aku tentu saja sangat khawatir. Khawatir dia terpapar wabah Covid19 sebagaimana di derita ayahnya jika dia di isolasi disana. Dengan berbagai banyak pertimbangan akhirnya Boo kini harus di isolasi dan mulai esoknya aku ke rumah sakit hanya sekedar mengantarkan makan dan minum serta memastikan dia baik-baik saja.
Hari-hari selama aku menemani Boo di masa isolasi kuhabiskan untuk selalu bisa bertemu dengannya. Ketika malam tiba kuhabiskan untuk sekedar ngobrol santai bersamanya melalui telepon. Atau sekedar saling memberikan semangat dan doa kesembuhan ayah Boo serta untuk kesehatan kami. Perlahan perasaanku kembali mekar dan tumbuh. Perasaan yang sebenarnya pernah ku kubur dalam-dalam pada masa lalu tentang kisah yang pernah kurasakan pada kisah yang lain.
Selama masa isolasi, dimana mengharuskan Boo sebagai orang yang menjaga pasien juga turut di isolasi membuat tidurku tak pernah lelap, perasaan khawatir jika dia meneleponku tengah malam karena ada hal-hal yang tidak diharapkan terjadi serta berbagai kekhawatiran lainnya. Kekhawatiran-kekhawatiran ini konyol sebenarnya mengingat kami hanyalah sebatas "biasa", bahkan kadang aku merasa belum layak untuk disebut sebatas teman biasa-pun.
***
Aku mengenal Boo mungkin sekitar 4-5 tahun yang lalu dalam sebuah kegiatan sosial di kampungnya. Ketika itu dia baru saja lulus SMA. waktu itu aku sesekali selalu mencuri pandang wajahnya, wajah yang cantik yang juga mengingatkanku tentang berbagai macam kenangan indah dalam hidupku. Aku kira hanya sampai disitu saja, ternyata berlalunya waktu membawaku kembali mempertemukanku dengan Boo. Mungkin setahun lalu, sekitar awal 2020. Boo, dulu adalah padang rumput yang sering kupandangi dikejauhan kini berganti rupa menjadi padang bunga yang berwarna-warni dengan semerbak wanginya. Aku menyukainya dan aku rasa juga aku mencintainya. Itulah mungkin gambaran bagaimana aku melihat Boo saat pertemuan kedua kami. Namun yang yang mendasari kenapa aku menyukainya dari sekian banyak keindahan yang kulihat dari Boo, Boo adalah gadis baik. Iya dia gadis baik dan aku mencintai gadis baik.
Setelah pertemuan kedua itu walau jarang bertemu, tapi sesekali kami masih komunikasi lewat pesan singkat. Ya, sangat singkat sekali sebatas "hai" itulah pesan yang sering kukirim pada Boo, sesingkat itu. Sampai kemudian akhirnya aku mengutarakan niat baikku untuk "serius" kepadanya, namun ternyata detik berikutnya dia mengatakan padaku bahwa "Maaf a aku sudah punya pacar!"
Ahh... Hanya tarikan nafas yang dalam dan terasa sesak yang mampu kulakukan ketika dan kemudian ku jawab bahwa "Iya gak apa, biarkan waktu yang menjawabnya". Setelah kejadian itu aku hanya sesekali menyapanya dalam pesan singkat sampai waktu terus berlalu dan aku menyibukan diri dengan berbagai pekerjaan serta ditambah keterlibatanku dalam kontestasi pemilihan kepala desa (PILKADES) sebagai Calon Kepala Desa. Yang tentunya hampir menyita seluruh tenaga, pikiran dan tentunya waktu, sehingga aku tak pernah lagi sempat komunikasi dengan siapapun termasuk dengan Boo. Walau Sebatas kata "hai" sebagaimana pesan singkat yang sering ku kirim.
Hampir 13 hari masa isolasi, Selama itupula aku bolak-balik antara tempatku ke rumah sakit tempat Boo dan ayahnya di isolasi. Selama itu aku sudah menempuh jarak hampir seribu kilometer bolak-balik. Jarak yang sama dari kotaku sampai ke pulau Dewata Bali. Sampai aku sudah hafal betul setiap jengkal jalan itu, letak jalan berlubang, letak pedagang kaki lima yang ternyata enak banget masakannya, atau bahkan letak warung remang-remang sepanjang jalur pantura yang nampak hingar ketika malam tiba.
Sampai tiba dimalam itu. Malam terakhir masa isolasi. Dalam sebuah obrolan pesan singkat aku kembali memutuskan untuk mengatakan bahwa aku mencintainya dan berniat untuk melamarnya kelak setelah semua sudah pulih seperti sedia kala. "Boo, kelak jika kondisi kondisi kesehatan bapak sudah lebih baik, ijinkan aku untuk melamarmu. Aku harap jawaban tersebut jujur dari hatimu tanpa harus terbebani dengan apa yang telah kulakukan selama ini" Lalu kembali seakan DEJAVU seperti waktu yang lalu, seperti setahun sebelumnya dimana sedetik kemudian tanpa harus menunggu nanti, Boo mengatakan "maaf a aku tidak ingin punya hubungan".
Sampai kemudian waktu berkata lain. Sang waktu atau mungkin takdir kembali mempertemukan kami berdua dalam skenarionya yang membawa kami kembali bertemu dengan berbagai jalannya hingga kami berdua kini berada dirumah sakit ini.
***
Hampir 13 hari masa isolasi, Selama itupula aku bolak-balik antara tempatku ke rumah sakit tempat Boo dan ayahnya di isolasi. Selama itu aku sudah menempuh jarak hampir seribu kilometer bolak-balik. Jarak yang sama dari kotaku sampai ke pulau Dewata Bali. Sampai aku sudah hafal betul setiap jengkal jalan itu, letak jalan berlubang, letak pedagang kaki lima yang ternyata enak banget masakannya, atau bahkan letak warung remang-remang sepanjang jalur pantura yang nampak hingar ketika malam tiba.
Sampai tiba dimalam itu. Malam terakhir masa isolasi. Dalam sebuah obrolan pesan singkat aku kembali memutuskan untuk mengatakan bahwa aku mencintainya dan berniat untuk melamarnya kelak setelah semua sudah pulih seperti sedia kala. "Boo, kelak jika kondisi kondisi kesehatan bapak sudah lebih baik, ijinkan aku untuk melamarmu. Aku harap jawaban tersebut jujur dari hatimu tanpa harus terbebani dengan apa yang telah kulakukan selama ini" Lalu kembali seakan DEJAVU seperti waktu yang lalu, seperti setahun sebelumnya dimana sedetik kemudian tanpa harus menunggu nanti, Boo mengatakan "maaf a aku tidak ingin punya hubungan".
Kedua kalinya. Iya kedua kalinya aku ditolak oleh Boo kali ini bahkan tepat di hari ulang tahunku, pedih perih "nyeusek". Mengingat betapa konyolnya aku.
Mungkin pembaca menganggap aku seakan pamrih, untuk mengatakan cinta dan melamarnya setelah merawat dia, setelah berkorban untuknya atau bahkan setelah apa yang terjadi diantara kami berdua. Tidak. Aku tidak berpikir seperti itu. Bahkan salah satu hal terbaik dalam hidupku selama ini adalah mampu membuat orang yang aku sayangi bisa bahagia dan tidak lagi menangis. Aku bahagia melihat Boo sudah bisa tersenyum setelah ayahnya kini sembuh, aku juga bahagia orang-orang terdekat Boo (keluarganya) juga bahagia. Entah seperti apa menggambarkannya tapi yang pasti aku bahagia.
Aku memahami bahwa mencintai tak mesti dicintai. Aku juga sudah sering kehilangan. Aku bahkan sudah sering di khianati oleh teman, sahabat, bahkan keluarga. Aku sudah sering tercampakan bahkan oleh hidup. Tapi sakit yang aku rasakan, kecewa yang aku alami rasanya tak pernah sesakit ketika kini aku tak bisa bersama orang yang aku cintai selamanya. Dia ada namun tiada.
Mungkin pembaca menganggap aku seakan pamrih, untuk mengatakan cinta dan melamarnya setelah merawat dia, setelah berkorban untuknya atau bahkan setelah apa yang terjadi diantara kami berdua. Tidak. Aku tidak berpikir seperti itu. Bahkan salah satu hal terbaik dalam hidupku selama ini adalah mampu membuat orang yang aku sayangi bisa bahagia dan tidak lagi menangis. Aku bahagia melihat Boo sudah bisa tersenyum setelah ayahnya kini sembuh, aku juga bahagia orang-orang terdekat Boo (keluarganya) juga bahagia. Entah seperti apa menggambarkannya tapi yang pasti aku bahagia.
Aku memahami bahwa mencintai tak mesti dicintai. Aku juga sudah sering kehilangan. Aku bahkan sudah sering di khianati oleh teman, sahabat, bahkan keluarga. Aku sudah sering tercampakan bahkan oleh hidup. Tapi sakit yang aku rasakan, kecewa yang aku alami rasanya tak pernah sesakit ketika kini aku tak bisa bersama orang yang aku cintai selamanya. Dia ada namun tiada.
Kini aku sudah kembali ke kehidupanku dan Boo ke kehidupannya. Sehat selalu Boo, jangan lupa bahagia. walau rasa sakit ini tak pernah akan hilang, namun aku hanya harus terbiasa hidup dengan rasa sakitnya.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
--Karawang 2021--