Pernyataan dari keluguan anak kampung yang dungu dan lagi semua sudah tertulis di BAP. Sebagai orang yang tak pernah berkata bohong, aku menjawab semua pertanyaan tim pemeriksa dengan jujur. Menurut apa adanya, menurut apa yang aku alami, itu pun tak urung kepalaku benjol-benjol dipukuli. karena tugas tim pemeriksa adalah untuk menggiring pengakuanku ke dalam keterlibatan pada peristiwa.
Belajar apa kamu disana? Belajar ng*nt*t GERWANI? Dia mengucapkan kata-kata yang tak pantas diutarakan oleh seorang perwira sambil menatap tajam ke arahku. Tidak pak! Saya ikut latihan militer. Baris-berbaris, latihan menembak, latihan pra dan bongkar pasang senjata.
Bapak Sugito! Aku menjawab sekenanya aku tidak tahu secara pribadi siapa yang menyuruhku pergi latihan militer di lubang buaya. Aku hanya tahu bahwa yang menugaskanku adalah orang partai. Sebagai orang pertama PKI kabupaten daerahku, pak Sugito adalah identik dengan partai.
"Sini kamu ikut aku" Seru perwira itu. "Jadi kamu tidak mengaku kalau dia sudah memberi perintah pada pemuda rakyat untuk pelatihan di lubang buaya?" Aku bangun mengikuti dia keluar dari kamar itu menuju sebuah kamar lain, yaitu kamar WC yang digunakan untuk menyekap pak Sugito. Hanya beberapa langkah melewati kamar-kamar yang berukuran lebih kecil dari kamar yang tadi, kira-kira berukuran 2,5x2,5 meter. Sedangkan kamar tadi ukurannya lebih besar sedikit yaitu 3x2 m persegi. Dia memegang gagang pintu, lalu menekan dan mendorongnya, tapi pintu terkunci. Seorang pengawal bergegas keluar keruang kerangkeng untuk mengambil anak kunci. Entahlah perwira itu pun berbalik mengikuti pengawal keluar mengurungkan niatnya untuk mengkonfrontir aku dengan pak Sugito. Tanpa berkata apa-apa dia menyudahi interogasinya.
Adegan drama yang menegangkan itu pun berlalu. Aku ikut bergabung kembali bersama teman-teman di kamar utama. Mereka yang ketakutan sudah terlepas dari mimpi buruk. Wajah Bung Uli yang pucat sudah cerah kembali. Gelak tawa sudah berderai lagi. Aku tidak tahu mengapa teman-teman begitu tegang berhadapan dengan komandan kodim. Dan yang lebih tidak mengerti lagi, mengapa tiba-tiba aku yang harus berhadapan langsung dengan perwira yang berwajah sangar itu. Dan telah melerai ketegangan. Tidakkah dia telah mengurungkan niatnya karena tersadar bahwa sebagai penguasa perang daerah, dia telah terjebak berurusan dengan orang bawah seperti aku. Tidakkah dia juga merasa terjebak dengan pertanyaan mesumnya itu? Yang telah menunjukkan keseragaman orang-orang Soeharto dalam menggunakan fitnah lubang buaya untuk membangkitkan amarah umat Islam.
Kandang Kera
Bangunan kerangkeng itu kira-kira berukuran 11x4 meter, terdiri dari 5 kamar berderet-deret ke belakang. Kamar yang satu berada diluar kerangkeng dibatasi oleh kawat berduri yang membelit tiang-tiang emperannya. Denahnya ditinggikan, sama tingginya dengan pondasi bangunan.
Dibagian belakang bangunan kembar itu dihubungkan oleh trotoar atau koridor yang beratap. Kerangkeng berada di belakang bangunan induk, yang di sebelah kanan mepet ke sisi barat tembok pembatas. Sedangkan sisi timur tembok pembatas lebih merupakan jalan keluar masuk roda kendaraan. Sebab di belakang bangunan induk depan sebelah kiri adalah lapangan terbuka sekaligus juga merupakan halaman kerangkengnya.
Halaman belakang bangunan itu adalah multifungsi bagi segala macam keperluan sebuah markas militer. Lebih ke belakang dari kompleks itu, di sisi Utara tembok pembatas dari arah barat ke timur adalah WC, sumur dan bangunan terbuka yang digunakan untuk garasi. Bangunan itu memang lurus dengan jalan untuk keluar dan masuknya kendaraan.
Bangunan kembar markas militer itu tidak punya halaman depan, maka halaman langsung menghadap ke jalan raya utama yang membelah kota.
Bangunan kerangkeng menyatu dengan bangunan induk yang digunakan sebagai kamar periksa, hanya dibatasi oleh pintu pagar kawat berduri. Suara-suara bentakan tim pemeriksa dan suara-suara pukulan tendangan ke kerangkeng terdengar dimana-mana. Demikianlah kehidupan keseharian kami para tahanan disiksa oleh tekanan-tekanan psikologi, mental dan fisik kami sedang dihancurkan.
Kerangkeng yang terdiri dari 2 kamar yang dihuni kamar WC yang digunakan untuk sel atau yang benar adalah kamar sel lengkap dengan WC-nya. Kami berhimpitan. Sebagian besar kami tidur di emper kerangkeng, aku sendiri kebagian di emper. Pada malam-malam awal, aku aku jadi penghuni kerangkeng sering aku terjaga dari tidur sebab bagian bawah kaki terkena tusukan kawat duri. Baik ketika mengubah posisi tidur maupun ketika nyamuk menggigit bagian kaki yang telanjang. Tapi lama-kelamaan tubuh ini menjadi terbiasa, bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Aku baru pindah tempat tidur setelah pak Sugianto beserta para pimpinan teras lainnya dikirim ke Bandung. Termasuk si ibu yang selalu merenung sendiri keluar kerangkeng di trotoar yang menjadi penghubung kedua bangunan.
Dika, Marcel dan aku kebagian tidur di atas lubang WC beralaskan tikar lusuh yang sudah rombeng Kamar itu telah membawa malapetaka bagi diriku. Aku terjangkit penyakit gatal-gatal dan bentol-bentol di sekujur tubuh dan bentol-bentol itu ada yang pecah menjadi luka. Dan borok yang yang menyakitkan alat vital, sampai aku tidak sanggup mengenakan celana. Aku seperti anak yang baru disunat pakai sarung yang diganjal, supaya alat paha tidak bergesekan dengan luka.
Pernah pada suatu acara senam pagi semua tahanan digiring ke halaman, aparat masuk kerangkeng menggeledah. Aku keluar kamar menggunakan sarung dan menerangkan pada aparat bahwa "anuku" borok. Dia memahami dan aku diperbolehkan tidak ikut senam.
Dikerangkeng markas militer itu ada 5 orang tahanan perempuan yang pertama adalah Naimah. Nama yang sudah ada ketika aku masuk tahanan menjadi penghuni kerangkeng, sejak tanggal 6 Desember tahun 1965. Lewat secarik kertas surat panggilan karena diawali oleh seorang teman yang bersama-sama ikut latihan militer di lubang buaya. Naimah adalah anggota ormas GERWANI yang ditugaskan menjadi juru masak para tahanan. Bu Naimah tidur di ruang terbuka di ujung krangkeng disatukan dengan tahanan laki-laki.
Bersambung...