SARKOM - Si bung bersama seorang siswi
22.10
Ada musim kemarau tahun 1962. Bung karno menyempatkan diri untuk datang ke kota kecil rengasdengklok. Tepatnya ke desa Kutawaluya, ditempat bobolnya tanggul sungai citarum. Untuk melihat langsung dampak yang ditimbulkannya disekitar tempat kejadian.
Ketika air sudah surut, yang tersisa adalah areal sawah cukup luas tampak pematang tertimbun endapan lumpur yang dihanyutkan oleh luapannya.
Dibangunnya waduk multiguna jatiluhur salah satu kegunaannya adalah untuk mengendalikan banjir yang hampir setiap musim hujan melanda daerah dikiri-kanan alirannya karena luapan derasnya membuat tanggul menjadi mudah untuk bobol.
Kabar tentang akan hadirnya Bapak Presiden di kota Pahlawan tempat dia diculik dan di desak oleh para pemuda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan telah menyebar kesuluruh pelosok desa. Masyarakat sekitar berduyun-duyun datang ketempat perhelatan, untuk melihat langsung orang yang mereka kagumi.
Aku diajak paman untuk ikut. Kami bertiga pergi dengan naik sepeda. Paman menggayuh. Aku dan adik misan membonceng berhimpitan dibelakang. Jarak yang harus ditempuh sejauh 15 Km. Peluh paman bercucuran. Bajunya basah, tapi seperti tidak merasa kecapaian. Dia penuh semangat menggenjot sepeda, seakan-akan tidak sabar untuk ingin segera sampai ketempat tujuan.
Paman adalah pengagum Bung Karno. Tapi mungkin belum sampai pada tahap mengagumi ajarannya. Dia begitu terpesona oleh gaya bung Karno berpidato, terutama lantang suaranya. Kalau membaca buku, paman selalu meniru gaya dan nada suara bung karno. Aku tidak tahu, apakah paman sudah pernah melihat langsung bung karno berpidato? yang pasti dia sangat antusias apabila mendengarkan pidato bung karno di radio. Atau mungkin ini adalah kesempatan paman untuk melihat langsung orang yang sangat dikaguminya itu berpidato.
Setelah menyebrang jembatan irigasi induk yang mengairi pesawahan daerah Karawang barat, Kami berkelok ke utara menyusuri jalan raya yang bergandengan dengan irigasi tadi. Irigasi yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Sumber airnya di sungai Citarum juga, yang dialirkan lewat bendungan Parisdo, bentuknya bagaimana, aku belum pernah tahu. Walaupun pada setiap hari raya selalu dijadikan tempat rekreasi oleh para remaja dan anak-anak, aku belum pernah kesana.
Disepanjang jalan jalan, sejak dari arah kota dihias oleh umbul-umbul warna-warni dan berselang dengan bendera merah putih. Tentara berjaga-jaga disetiap jarak tertentu. Arus manusia bergerak menuju arah yang sama. Dari arah kota, dari sebelah jembatan. jembatan irigasi besar adalah pinggiran timur kota Rengasdengklok. Yang jalan kaki, yang naik sepeda, yang naik becak, yang menggunakan kendaraan bermotor berbaur memadati jalan raya. Masih disekitar 4 kiloan lagi paman harus menggenjot sepeda. Aku dan adik misan mulai gelisah duduk dibegasi karena pantat sudah mulai panas.
Alhamdulillah, kami sampai ditujuan. Kerumunan manusia sudah memenuhi lapangan luas diseberang irigasi, disebelah kanan irigasi jalan raya. disebelah kiri diatas tanggul sungai citarum aku melihat tentara bergerombol, paman bergegas menyimpan sepeda ketempat penampungan. Lalu kami pergi membaur kedalam lautan manusia, menerobos ke tengah-tengah mereka yang datang lebih dulu dan berhasil mencapai tempat yang dengan jelas dapat melihat wajah bung karno yang sudah berada diatas podium. Kami persis berada didepan podium, sehingga dapat dengan jelas pula melihat semua kalimat yang menerjang gendang pendengaranku, keluar dari sela-sela bibirnya.
Podium itu dibangun ditengah pesawahan yang tertimbun endapan lumpur, lebih menyerupai saung angon, karena menggunakan tiang penyangga yang cukup tinggi. bung Karno harus menaikinya lewat tangga, mungkun masudnya supaya dengan jelas dapat melihat dari segala arah oleh semua orang yang meng elu-elukannya.
Aku menebar pandang kesekeliling podium, kemudian menoleh menghadap jauh kebelakang, lautan manusia berjejal berlapis-lapis dibawah panasnya sinar matahari. Banyak yang menggelar payung, menggunakan topi dan caping untuk melindungi kepala dari sengatan terik mentari.
Dua buah helikopter, berbeda ukuran nongkrong ditengah-tengah kerumunan manusia. Yang besar berada diujung selatan, sedangkan yang kecil mungil lebih dekat ke podium, hanya terhalang barisan anak-anak sekolah yang berderet dari timur ke barat, menghadap kesamping podium. Tak ada seragam yang membedakan mereka, kecuali besar kecil dan tinggi rendahnya menurut jenjang umur. Aku yakin tak ada barisan mahasiswa, sebab di kota Karawang belum ada perguruan tinggi, SLTP pun baru ada di kota tingkat kewedanaan salah satunya di rengasdengklok.
Seandainya aku mampu meneruskan sekolah tentu aku tak perlu ikut berboncengan sepeda bersama paman umtuk menghadiri acara ini. Tentu aku masuk didalam salah satu barisan yang berjejer disana. Berada dalam barisan anak-anak SMP. Duduk dikelas 2 akhir atau dikelas 3 awal. Aku lupa bulan kehadiran Bung karno di Rengasdengklok.
Sampai menangis aku menghiba pada pamanku ini ingin meneruskan sekolah. Ayah meninggal ketika aku masih duduk dikelas IV SD. Paman menolak keinginanku, dia menghiburku dengan berjanji untuk memasukanku ke pesantren. Itupun tak pernah dilakukannya. Dia tidak menepati janjinya. Praktis masa belajarku hanya berlaku di usia 7 tahun sampai usia 13 tahun. Baik pendidikan formal sekolah umum maupun mengaji. Padahal hasil testimng latihan ujian nilaiku paling tinggi untuk tingkat Kecamatanku, sangat jomplang dengan nilai teman-temanku. Aku kecewa berat dan putus asa untuk tidak ikut ujian yang sebenarnya. Sampai-sampai guruku membujukku supaya aku ikut mempertahankan reputasi sekolahku. Dan hasilnya, nilai teman-teman rata-rata bagus sedangkan nilaiku merosot. nilai bahasa Indonesiaku dari dari 8 menjadi 6. Nilaiku yang naik hanya berhitung (matematika) dari mendapat 9 menjadi 10. Tapi mereka yang naik dari nilai 4 dan 5 menjadi rata-rata 8. Nilaiku hanya lebih tinggi sedikit dari mereka. Apalah arti sebuah kecerdasan ketika kesempatan belajar tak dapat diraih. Otak ini menjadi beku seperti gumpalan es. Larut menyatu kedalam lingkungan masyarakat yang masih sangat terbelakang. Kesempatan belajar adalah seperti hangatnya cahaya matahari, yang memcairkan kebekuan itu.
Aku didera oleh rasa kesepian yang sangat dalam dan begitu mencekam. Aku merasakan seperti ada yang hilang dari dekapan masa kanak-knakku, Dan perasaan itu tiba-tiba terasa merayap kembali menguasai kesadaranku, ketika aku memandang kebarisan para pelajar. Ke wajah-wajah ceria yang sedang menapaki kesempatan indah masa kanak-kanaknya. Aku iri pada mereka, rasa rinduku tiba-tiba timbul menyelimuti kembali seluruh perasaanku. Rindu pada hasrat belajar yang begitu besar tidak kesampaian.
Aku nanar menatap wajah Bung Karno, tahukah dia bahwa ada jutaan anak yang terenggut kesempatannya, seperti aku, seorang anak yang kini sedang ternganga mengagumi kebesarannya. Perasaanku seperti sedangmandakwa.
Entahlah..., kau seperti sedang hanyut dalam suasana penyesalan diri. Aku asyik sendiri meratapi apa yang telah lenyap dari mimpi indahku. Seakan-akan aku tidak sedang mengikuti prosesi dari kehadiran seorang pemimpin besar. Aku baru tersadar ketika seorang siswi keluar dari salah satu barisan, berjalan menuju podium kemudian menaiki tangga. Dia ditunjuk langsung oleh bung karno untuk memimpin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Seorang gadis berwajah ayu menengadah memuja pada sang Bapak. Si Bung menepuk bahunya dan memberi komando untuk memulai. begitu terampil--/ Tak sedikitpun keraguan nampak pada geraknya. Tanganya memberi aba-aba untuk menyamakan nada dan lincah mengatur irama seperti sudah biasamenjadi dirijen. Semua berdecak kagum, karena tak sedikit kelihatan ragu dihadapan seorang presiden.
Itulah sebuah kenangan dan kenangan itu begitu membekas dalam ingatan. Banyak cerita yang jadi pembicaraan dimasyarakat pada peristiwa kehadiran Bung Karno di rengasdengklok salah satunya adalah tentang sepasang kakek-nenek yang terisak menangis. Di mata ketulusan riang renta yang lugu itu mengalir membasahi kulit wajah yang keriput. Waktu ditanya mengapa kakek menangis, si kakek itu menjawab; kakek ini merasa bahagia sekali, karena sebelum mati diberi kesempatan oleh Allah untuk melihat wajah sang Raja Agung.
Yang tak kalah ramai jadi bahan pembicaraan adalah tentang nasib mujur yang menimpa pelajar yang cantik itu. Mereka menganggapnya sebagai anugerah yang luar biasa. bagi orang awam, bung Karno dianggap sebagai kekuatan supranatural. Orang titisan, penjelmaan para dewa. atau seorangWaliyullah dan pelajar itu telah mendapat anugerahnya.
PERWIRA ITU BERKATA KOTOR
Agustian.! Agustian.! seorang teman yang duduk disamping belakang tiba-tiba masuk kamar, membisikan berita. Kami yang sedang asyik ngobrol mendadak terhenti. Wajah teman-teman sebagian nampak berubah pucat dan tegang. Beberapa orang diantaranya menunduk menyembunyikan muka. Aku terheran-heran, mengapa kok begitu ketakutan, dan orang yang ditakuti itu muncul dipintu yang siang malam selalu terbuka. Perwira itu bertubuh sintal. Agak pendek, berpakaian dinas lapangan lengkap dengan tongkat komandonya.
Sekilas aku melihat Bung Ilei yang duduk di amben beton bersandar ketembok menghadap ke utara, merunduk menyembunyikan muka. Perwira itu bergeser ketengah mendekat ke arah bung IleiBung semakin merunduk. Nah mungkin bagi teman-teman dari karawang kota mereka sering berhadapan muka dengan komandan kodim yang berwajah angker itu.
Astori.. apa sekolahmu? perwira itu bertanya pada seseorang yang duduk bersandar ke tembok sisi barat.
S.R tiga tahun pak! Orang yang bernama Astori menjawab, dia adalah ketua cabang BTI Karawang.
Tapi, mengapa kamu yang sarjana kalah sama si Astori yang tamatan sekolah tiga tahun? Sang komandan mengalihkan pandangnya ke wajah seorang pemuda lajang yang ganteng. Gatot Kocobaya duduk mendekap dengkul ditengah amben mendongak membalas tatapannya. Cuma dia itu tidak memberi jawaban. Dia adalah ketua cabang Pemuda Rakyat (PR) Kabupaten Karawang.
ternyata Pertanyaannya tidak dijawab, perwira menengah berpangkat letnan kolonel itu menebar pandang ke semua penghuni kamar -- Siapa disini yang ikut latihan dilubang buaya?
Terkesiap darahku, berdegup jantungku mendengar pertanyaan ini. Aku yang duduk disisi utara amben Mencoba mencari jawaban dari wajah teman-teman. Pakah pertanyaan itu perlu dijawab. Tapi semua membisu, tak seorang pun yang membalas tatapanku. tadinya aku berharap dari kerlipan mata dapat petunjuk.
Saya pak!-- dan jawaban itu terlontar dari kejujuran hati yang polos. Atau mungkin sebagai bukti ketidaktahuanku tentang makna politik.
Be continue...
0 komentar