Dua belas pertanyaan penulis gagal JASPEK
22.00
Dear, JASPEK.
Jawaban dari pertanyaan JASPEK saya mulai dengan kalimat "alkisah, dahulu kala dan konon katanya" ada seorang sang anak manusia yang hidup di suatu tempat yang tak pernah ada dalam literatur sejarah dan peradaban manusia manapun. Suatu ketika anak manusia itu bermimpi aneh. Didalam mimpinya tersebut sang anak manusia di didatangi oleh sekelompok makhluk astral dari dimensi lain. Sekelompok makhluk dalam mimpinya bertanya kepada sang anak manusia dengan Dua belas Pertanyaan. Menghadapi kebingungan dan kebimbangan mimpinya tersebut, berangkatlah dia sang anak manusia menemui seorang pertapa yang tinggal di dalam hutan belantara.
"Wahai sang pertapa, ada yang ingin aku tanyakan padamu" Tanya Sang anak manusia memulai percakapannya dengan sang pertapa.
"Wahai sang anak manusia, apakah kebimbangan dihatimu sehingga kau datang padaku?"
"Aku mempunyai dua belas pertanyaan yang membuat kebimbangan dihatiku yang kini ingin aku tanyakan padamu wahai sang pertapa." Sejenak sang anak manusia menarik nafasnya dalam-dalam lalu kemudian dia melanjutkan.
"Pertanyaan pertama “Bagaimana cara menulis tanpa alat tulis?”
Sang pertapa diam sejenak, sambil mengusap janggut putih panjangnya "Wahai anak manusia, kau menulis bukanlah hanya untuk dibaca, melainkan agar tulisanmu juga dimengerti. Konon para leluhurmu "menuliskan" pikirannya dalam bentuk simbol-simbol, tarian-tarian dan kidung yang me-senandungkan tentang kegelisahan jiwa." Sang pertapa menatap tajam dan sang anak manusia manggut takzim mendengarkan petuah sang pertapa, lalu kemudian Sang pertapa kembali melanjutkan petuahnya. "Menulis sama artinya menyampaikan apa yang ingin disampaikan dalam bentuk apapun yang bisa dilihat, didengar dan dirasa oleh inderawi manusia. Itulah hakikat menulis wahai anak manusia"
"Hmm.." Gumam sang anak manusia. "
"Saya setuju dengan petuahmu wahai sang pertapa. Lalu Bagaimana cara aku menulis bila tidak bisa membaca?" Lanjut tanya sang anak manusia.
"Bahwasanya membaca bukanlah serta merta berhubungan dengan tulisan saja, namun sesungguhnya seluruh inderawimu harus mampu untuk membaca apa yang tersurat dan tersirat". Jawab sang pertapa, lalu kemudian sang pertapa kembali melanjutkan petuahnya.
"Dalam hidup terdapat rasa suka dan duka, tangis dan tawa, marah, benci dan tentu saja cinta. Bukankah itu semua seringkali kau rasakan anak manusia. Alam semesta ini merupakan perpustakaan maha besar yang harus kau baca, yang harus kau cari tahu maknanya dengan semua inderawi dan akal pikiranmu. Tanpa membaca itu semua tentunya kau tak mungkin menuliskan semua itu."
Langit bertaburan bintang gemintang, suara jangkrik, burung hantu dan binatang malam lainnya sahut-menyahut menjadi satu simfoni alam yang megah. Senja baru saja beranjak, purna sudah tugas matahari hari ini lalu digantikan rembulan yang kini bersinar dengan temaram di malam itu.
Cahaya pelita di gubuk sang pertapa nampak menari-nari mengikuti gerak sang angin yang menyelinap dibalik sela-sela bilik bambu. Sambil menghisap rokok klobot sang anak manusia kembali melanjutkan pertanyaannya.
"Maafkan aku seorang anak manusia yang bodoh ini wahai sang pertapa. Lalu kemudian apakah tulisan harus selalu bisa dibaca?. Tanya sang anak manusia.
"Tentu. Karena memang tak satupun tulisan yang tak memiliki makna wahai anak manusia. Karena tulisan adalah buah dari pikiran dan tulisan memiliki jiwa. Adapun kemudian ada anak manusia yang sulit membacanya, itu tergantung seberapa besar mereka mampu menggunakan inderawi serta akal pikiran mereka. Karena sesungguhnya semua hal itu memiliki makna dan tak ada yang sia-sia.
"Hmm..." Gumam sang anak manusia. "Lalu apakah kau menulis saat sedang tidur?"
"Ahh.. sebenarnya dari mana asal pertanyaanmu ini, tapi baiklah akan aku jawab." kata sang pertapa. "Apakah kau suka dengan mimpi indah, atau apakah sebelum kau tidur kau berharap bermimpi indah? jika 'ya' maka berarti itu kau telah membuat sebuah judul untuk tulisanmu dan mimpimu itulah isi ceritamu" kata sang pertapa sambil menyeruput kopi yang tak lagi panas.
Pandangan sang anak manusia menatap takzim kemudian berkata "Wahai sang pertapa, Lalu bagaimana caranya agar tidak dapat menulis?"
"Mati, hanya kematian wahai sang anak manusia" Jawab sang pertapa.
0 komentar